CERMIN MASA DEPAN RANIA



Pagi yang cerah seiring dengan suara burung berkicau di udara, tiba-tiba seluruh tentara dikagetkan dengan  suara dengung di pusat markas Indonesia terdengar jelas di telinga seluruh tentara, termasuk Tirta.  Suara dengung itu pertanda akan diadakannya perundingan di lapangan IKADA. Tak lama kemudian seluruh tentara pun berkumpul di tempat biasa di gunakannya perundingan.

Sesudah seluruh tentara berkumpul, berbaris sesuai jabatan masing-masing. Jabatan tertinggi di depan.  Acara perundingan segera dimulai.

”Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa baroka...tuh. Selamat pagi semuanya,” ucap BaPak Suripto selaku pemimpin seluruh tentara membuka acara.

“Wa’alikumsalam wa rohmatullohi wa barokatuh. pagi Pa...k,” sahut seluruh tentara menjawab sapaan atasannya secara semangat.

Seluruh tentara kelihatan penasaran dengan apa niat Pak Suripto mengumpulkan seluruh tentara yang ada. Mereka semua saling bertanya-tanya untuk menghilangkan rasa penasaran mereka masing-masing.

“Pada kesempatan pagi ini, saya ingin memberi tahu dengan mengumpulkan kalian semua tentang apa yang saya rencanakan sebelumnya dengan sangat matang, yaitu menyerbu markas sekutu. Besok pagi setelah matahari terbit tepatnya seperempat dari lingkaran,” ucap Pak Suripto yang seketika menghilangkan rasa penasaran para tentara.
Tiba-tiba  Tirta mengacungkan jari telunjuknya pertanda akan ada pertanyaan yang di lontarkan dari mulut Tirta.

“Iya ada apa?” jari telunjuk Pak Suripto menunjuk ke arah acungan jari tadi, tak lain yang ingi bertanya adalah Tirta yang berada di barisan terdepan dari barisan lain tepatnya di samping Dafi.

“Bagaimana, Pak?” tanya Tirta.

“Begini kita membuat strategi berkelompok untuk mengepung markas sekutu. Langsung saja saya tunjuk kamu (Tirta), dan Dafi untuk membentuk menjadi 6 kelompok,” jawab Pak Suripto menanggap pertanyaan Tirta. Semua tentara terdiam sambil berusaha memhami stra tegi yang di jelaskan Pak Suripto.

Seketika semua menjadi ricuh dikarenakan pembagian kelompok telah di mulai. Pembagian kelompok selesai dengan membagi menjadi 6 kelompok setelah semua sudah berkumpul di kelompok masing-masing Tirta segera menyiapkan baris berbaris sesuai kelompoknya.

Di tempat lain pemimpin Jepang yang di sampingnya selalu di dampingi penerjemah bahasa yang cantik mempesona berunding dengan temannya tentang bagaimana caranya menakhlukkan Indonesia.

Setelah beberapa menit berlalu mereka telah menemukan cara untuk menahan serangan Indonesia datang dengan memasang bom tersembunyi di beberapa tempat. Pagi setelah terbitnya matahari tepat seperempat lingkaran bumi dimana waktu tersebut telah dinantikan oleh seluruh tentara Indonesia. Mereka pun langsung pergi menuju markas Jepang.

Sesampainya mereka di sana kelompok 1-3 masuk terlebih dahulu melalui beberapa tempat yang berbeda lalu setelah 2 menit kemudian kelompok 4-6 akan masuk melihat kawannya sudah ada yang tewas terkena serangan tentara Jepang segera membantu menyerang lawannya.


Setelah semua lawan sudah terlilhat habis, seluruh tentara membuka pintu kamar-kamarnya, kemudian menelusuri sudut di tempat tersebut. Terdapat satu ruangan bila dilihat dari kejauhan terlihat sangat istimewa. Ketika sudah hampir sampai di depan pintu kamar tersebut ternyata ada rancangan bom. Untuk apa lagi kalau bukan memborbardir Indonesia?

“Sepertinya  ini memang kamar atasan sekutu karena dirancang sangat istimewa,”  gerutu Tirta sambil menjinakkan bom tersebut.

“Uhh.....  masalah bom sudah beres, ayo kita masuk ke kamar itu,” ajak Tirta sambil menunjuk kamar yang ada di depannya.

“Yang masuk sebagian saja yang lain tetap jaga-jaga di sini,” ucap ia lagi.

Ternyata di dalamnya memang terdapat 5 orang laki-laki dan 1perempuan cantik. Yang mana empat lelaki itu adalah tentara penjaga ruangan tersebut dan yang satunya lagi adalah pemimpin Jepang. Perempuan itu ternyata penerjemah bahasa. Mereka terlihat kaget dengan kedatangan warga pribumi. Seketika mengepung ruangan itu lalu menodongkan senjata.

“Jatuhkan pistolnya!!!!”

Sekutu tidak berani melawan karena posisi sudah terkepung dan jumlah sedikit. Mereka pun hanya bisa menuruti apa perintah Tirta tadi. Kita bawa mereka ke markas Indonesia beserta penerjemahnya juga.

Setelah sampai dimarkas Indonesia mereka ditempatkan di ruang jeruji besi. Seperti biasa Tirta akan memeriksa bagaimana keadaan tahanan Indonesia. Sesampainya ia di depan kamar jeruji, melihat penerjemah, ia berhenti tanpa disadari Tirta melihat si penerjemah tersebut dengan melamun. Ia takjub dengan pesona yang dimiliki. Penerjemah tersebut cantik, berbadan tinggi tapi tak setinggi Tirta. Tubuhnya tertutupi dengan bagusnya kain yang tertempel melekat ditubuhnya, dan dengan warna lensa matanya yang agak berwarna hijau menamba pesona di wajahnya. Namanya Reffy.

Tirta melihat nya dengan tatapan yang tidak biasa, em....kelihatannya ia mulai punya rasa yang berbeda.

“Mungkinkah ini yang namanya . . . .ah, sudahlah,” ucapnya dalam hati. Lamunan membayangi dirinya saat itu.

“Hei kamu!! Hei..,” ucap Reffy berusaha menyadarkan lamunan Tirta, seketika Tirta terbangun dari lamunannya.

“eheem, iya ada apa?” ucap Tirta dengan kaget.

“Mikirin apa sih?” tanya ia pada Tirta.

Tirta tidak menjawab. Ia berusaha menutupi pikiran dan perasaannya.

“Kamu yang namanya Tirta kan?” tanya Reffy.

“Tahu dari mana?” tanya Tirta penasaran.

“Iya, aku sering mendengar nama kamu disebut saat pembahasan,” jawab Reffy.

Setelah beberapa tahun kemudian Tirta dan Reffy menjadi sepasang suami istri yang berbahagia. Selama mereka berkeluarga lahir buah hati pertama yang dinanti. Ia berjenis kelamin perempuan, berparas cantik, berkulit putih, hidung mancung, tubuhnya ramping ,rambutnya berwarna pirang, ditambah lagi lensa matanya yang berwarna agak kehijau-hijauan persis seperti ibunya. Menambah aura dalam dirinya. Nggak kebayang kalau ia besar nanti. Mungkin cantiknya lebih dari yang tertera di atas.

Nggak nyangka sudah 13 tahun sejak ia lahir dulu. Ia sekarang duduk di bangkau kelas 7A SMP ternama di Jakarta tempat ia tinggal dan lahir.  Bu Hasna selaku guru mapel PKN, pada jam ketiga waktunya ia mengajar di kelas Rania.

“Pagi anak-anak,” sapa Bu Hasna memasuki ruang kelas Rania. Ruang kelas yang asalnya gaduh menjadi sepi dan seluruh anak termasuk Rania juga ikut segera duduk di bangku masing masing.

“Ayo bukunya dibuka!!"  suruh Bu Hasna

Semua murid pun membuka bukunya masing-masing. Srek srek suara lembar buku buku dibalik masing masing murid. Setelah sampai halaman yang dituju  Bu Hasna melanjutkan pembicaraannya.

“Ingatkah kalian ini hari apa?” tanya Bu Hasna membuka mata pelajaran.

“Rabu, Bu...”

”Bukan itu yang saya maksud.... kalau itu sih saya sudah tau. Rita tolong lihat kalender itu,”  ucap Bu Hasna.

Rita pun datang menuju arah Bu Hasna dan memberi tahu kalau ini adalah Rabu 10 November. Hari Pahlawan.

“Kasih tau semua teman temanmu dengan suara keras,” Bu Hasna menyuruh Rita.

Rita mengambil nafas panjang panjang lalu menghembuskannya. ”Ini adalah hari pahlawan”. Semua teman temannya mengangguk-angguk saja mendengar pemberitahuan dari Rita.

Setelah Rita memberi tahu teman temannya, Bu Hasna menyuruh Rita duduk kembali.

”Hari ini saya akan menjelaskan tentang perjuangan para pahlawan mengharap Indonesia merdeka.”

Bu Hasna menjelaskan tentang masa masa dulu sebelum Indonesia merdeka. Indonesia mengalami kemelaratan yang tidak biasa karena diperbudak oleh  penjajah, tetapi akhirnya Indonesia berhasil memusnahkan para penjajah. Teng.... teng.... bel berbunyi tanda sudah waktunya pulang.

Rania pun pulang dijemput  papahnya. Sesampainya mereka berdua di rumah yang megah karena Rania termasuk dalam kategori anak orang kaya. Waktu makan malam tiba dan makanan pun sudah siap saji di atas meja makan. Mereka satu keluarga makan bersama. Sebelumnya mereka berdo’a bersama yang dipimpin oleh kepala keluarga yaitu papah dari Rania.

Setelah papah Rania selesai makan duluan. Ia menyela makan Rania dan membujuk Rania untuk menjadi santri K.H. Amin Soleh. Dengan kata lain Rania disuruh mondok di pesantren K.H Amin Soleh tersebut.

“Papah dan bunda ingin kamu di pesantren.”

Keinginan orang tua Rania sangat kuat karena sifat Rania yang manja, tidak suka diatur, suka bermain kelewat jam bermain, kurangnya ilmu agama sehingga jarang sopan sama orang yang lebih tua.

Dari situ, orang tua Rania menginginkannya untuk menjadi santri. Mungkin karena belum tahu akibat dan asal usulnya. Jadi jika di pesantren akan mendapat bimbingan agama yang lebih banyak dan juga bermanfaat. Orang tua menginginkan Rania untuk belajar mandiri.

“Apa, Yah! Aku mau dipondokin sama Papah dan Mamah. No way. Aku tidak mau, Yah. Lagi pula apa sih untungnya kalau aku sudah mondok.”

Belum sempat papahnya menjawab ia malah tambah nyerocos tak terhingga.

“Yang ada aku malah bosan di sana. Nggak ada teman-temanku. Nggak bisa jalan-jalan juga. Nggak bisa jadi ratu yang bisa kesana kesini yang selalu dikasih uang jajan. Aku juga pastinya tidak ada jam bermain sedikitpun. Oh No. Aku nggak bisa. Bayangin Pah, . . . , Nggak nggak. Aku nggak mau menuruti keinginan Papah. O iya satu lagi. Plis jangan Paksa aku lagi. Okay.”

Setelah ia menyerocos segitu banyaknya sampai bisa dirumuskan panjang kali lebar kali tinggi. Sangking nggak ada henti Rania bicara sampai sampai papahnya yang ingin bicara tidak diberi waktu sedikitpun untuk menjawab dan menjelaskan maksud papahnya.

“Udah selesai ngomongnya?” kata papahnya.

Rania hanya menganggukkan kepala dua kali.

Ia melanjutkan makannya, baru papahnya menjelaskan setelah Rania selesai nyerocos. “Maka dari itu, semua yang kamu bilang nggak ada untungnya. Justru suatu saat nanti akan berguna banget bagi kehidupan kapanpun dan dimanapun kamu berada,” jelas Papa pada Rania.

Tiba-tiba Bunda memotong penjelasan papah sambil menepuk pundak papah. “Ah sudahlah, Yah. Suatu saat nanti pasti ia tahu sendiri gimana pentingnya ajaran agama."

“Sebentar, Mah. Masih ada lagi yang ingin papah bicarakan dengannya.”

“Bukan hanya itu yang mendorong keinginan Papah dan Mamah untuk memondokkan Rania. Papah juga tahu kalau kamu itu setiap malam pergi sama pacar kamu itu. Kamu kira penampilan kamu wah.. di mata orang terutama papah bunda, hah iya!!” tantang papah Rania.

”Apa kamu bangga dengan yang kamu punya sekarang, atau kamu menyombongkan diri kamu ....!!” jelas papah menasehati Rania sampai nggak ada hentinya.

“Kamu mau jadi apa kalau kamu nggak mau nurut sama papah dan bunda?” tanya papah lagi memojokkan Rania sehingga Rania nggak bisa menyela pembicaraan papahnya sedikit pun.

“Lagi pula papah pernah minta ke kamu apa....,sampek kamu nggak mau nurutin keinginan papah satu kali ini aja. Apa kurang cukup semua yang papah berikan untukmu selama ini. Kamu itu beruntung hanya menikmati masa masa kemerdekaan negara kita. Dulu kalau kamu tahu papah berkorban mati matian untuk kita untuk bangsa Indonesia.”

Sekarang suasana di ruang makan terasa sunyi  setelah papah Rania melontarkan nasehat dari mulutnya  yang nggak ada hentinya. Rania pun menunduk dan matanya terlihat membendung air yang deras. Tak lama kemudian air mata pun jatuh membasahi pipi Rania. Ia pun tersedu sedu karna tak bisa menahan tangisannya. Nafasnya terasa berat.
Rania berpikir panjang tentang apa yang diucapkan oleh papahnya memang benar. Rania merasa belum pernah membahagiakan kadua orang tuanya.

“Mungkin dengan aku melakukan apa yang di minta papah dan bunda bisa bahagia. Kata papah juga benar aku belum cukup agamaku,” batin Rania.

Hati Rania mulai luluh dengan kata-kata papahnya tadi. Membuat hatinya bimbang jadi tak menentu. Semua tenggelam dalam lamunannya masing masing .
Tiba tiba bunda Rania berkata,” Ya sudah masalah ini kita bahas besok lagi mendingan kamu tidur ke kamar.”

Rania pun pergi ke kamarnya bersama ibunya. Sampai di pintu lalu mematikan lampunya.

“Good night, Cantik,” ucap bunda.

Mentari menyambut Rania yang tidur pulas malam. Ia sempat menulis isi hatinya di buku hariannya. Aku baru nyadar kalau aku ini anak yang bejat banget. Sampek sampek aku nolak permintaan papahku sendiri. Padahal kalau aku minta apapun yang aku mau papahku selalu mengabulkanya. Nggak aku minta pun ia tau aku ingin apa selalu di kasih. Maafin aku papah dan bunda.

Sedari tadi ia menahan air matanya agar tidak keluar, tetapi ia tidak berhasil sehingga air matanya pun menetes melewati pipi Rania jatuh ke telapak tangan. Tepat saat sekolah Rania libur. Setelah mandi Rania bilang ke papah dan bunda kalau besok ia siap di antar ke pesantren untuk mencari ilmu dan mendalami ilmu agamanya.
Papah dan bunda saling memandang heran.

“Mimpi apa tadi malam putriku ya Tuhan. Tapi nggak apa apa  malah lebih bagus,” batin bunda dalam hati merasa heran. Begitu juga papah Rania.

Keesokan harinya Rania langsung diantar papah dan bunda ke pesantren yang diasuh oleh K.H. Amin Soleh. Bangunan pondok terdiri dari tiga tempat yang berbeda. Dua bangunan diperuntukkan untuk  santri putri. Satu bangunan lagi tempat santri putra.

Gedung santri putri yang pertama terletak di samping dan dempet banget sama ndalem bu nyai dan Pak yai. Gedung kedua terletak dekat dengan ndalem juga tetapi ndalemnya Guz Zaki anak pertama dari Pak Yai. Gedung santri putra yang terletak di samping ndalemnya Guz Rizal, adik dari Gus Zaki. Masing masing gedung putra maupun putri semua berlantai lima. Sangking banyaknya murid.

Tetapi Rania lebih memilih di pesantren yang kedua karena lebih dekat dengan sekolahnya. Setiap hari harinya kini nggak pernah mempunyai waktu kosong. Ia disibukkan dengan kegiatannya sendiri. Belajar pelajaran pesantren maupun pelajaran sekolah belum lagi extrakurikuler di sekolah.

Rania setelah satu semester di pesantren dan setelah ia mendalami ilmu yang di dapatnya tiba saatnya ia khotmil qur’an bin nadhor. Semua santri yang ikut khotmil Qur’an pun disuruh untuk menghubungi orang tuanya masing masing. Rania secepatnya mengabari papah dan bunda untuk memberi tahu kalau anaknya dua hari lagi khotmil Qur’an.

Tut... tut... suara tenfon pondok  menyambungkan ke nomor telfon papah Rania. Dengan heran papah melihat nomor pondok Rania masuk dilayar telfon papah Rania. Sebelumnya ia takut dan berfikiran kalau Rania melakukan kesalahan yang tidak sewajarnya sehingga pesantren menelfon papah.

”Kenapa ya, aku angkat dulu  sajalah supaya nggak su’udzon,”  batin papah sambil memencet tombol angkat dengan takut. Takut kalau anaknya kenapa-napa.

“Assalamu’alaikum. Ada apa ya kok tumben saya di telfon. Emangnya anak saya melakukan kasalahan yang tidak wajar ya?” papah Rania langsung bertanya tanya sebelum salamnya dijawab.

“Wa’alaikumsalam. Nggak kok, Pak. Rania baik-baik saja,” jawab Rania meledek papahnya pura pura menyamarkan suaranya.

”Terus kenapa?” tanya papahnya lagi. Papahnya masih tidak tahu kalau itu adalah anaknya sendiri.

”ih Papah kok masih nggak tahu juga sih. Papah udah lupa ya sama anaknya sendiri,” ungkap Rania.

”Ya ampun anakku saya........ng kamu kok nggak bilang dari tadi kalau ini kamu,” ucap papah Rania dengan nada rindu campur bahagia. Papah merasa lega bisa mendengar suara anak kandungnya sendiri.

”Habis papah ngomongnya nggak ada hentinya sih ngatain kalau aku itu punya salah terus,” ucap Rania dengan nada manja dan ngambek.

”Iya iya papah minta maaf buat tadi ya sayang. Em...kira kira papah di maafin nggak ya..??”

”Ya di maafinlah masak papah satu-satunya nggak di maafin. Itu aku mau beri tahu papah sama bunda kalau dua hari lagi papah dan bunda disuruh datang ke pondok karena aku akan khataman bin nadhor,” jelas Rania agak menyombongkan dirinya sedikit karena udah dikatain punya kesalahan.

“Wah, emang benar. Nggak salah denger nih papah,” ledek papah pada Rania.

“Kamu emang anak papah yang paling hebat. Nggak disangka anakku yang dulu nggak bisa membaca tulisan Arab, dan sekarang tiba tiba malah aku  dan bunda di minta untuk wali murid khataman al-Qur’an. Sungguh ajaib,” ucap dalam hati papah Rania.

Dua hari yang di tunggu pun telah datang, papah dan bunda datang ke pesantren Rania untuk menjadi wali murid sekalian menyaksikan anaknya menghafal surat surat pendek.
Selesai acara khotmil qur’an, semua yang datang meneteskan air mata terutama papah dan bunda Rania dan memberi tepuk tangan dengan meriah.

Ketika Rania turun dari panggung seketika itu juga papah dan bunda memeluknya erat. Terharu dan bangga anaknya yang dulu belum bisa baca al-Qur’an ternyata sekarang sudah khatam al-Qur’an.

Setelah Rania lulus berapa tahun kemudian ia sudah punya usaha sendiri yang bisa dibilang sukses. Rania baru badar kalau apa yang di bilang papahnya dulu itu benar semua akan bermanfaat dimanapun dan kapanpun sehingga ia tidak lupa berbagi ke sesama.


Oleh: PUTRI S.R Kelas 8C