SEMANIS KOPI BUATAN MBAK SRI


Dedaunan kering berjatuhan silih berganti. Satu per satu. Yang basah masih melambai-lambai ditempa semilir angin. Malam ini, begitu juga malam-malam sebelumnya, masih saja terasa dingin. Ditambah rintik hujan membasahi tanah halaman Pondok Pesantren Darul Falah membuatku menarik sarung sampai ujung kepala.

Akibat hujan dan angin, halaman itu kini nampak sepeti tidak pernah tersentuh sapu. Padahal beberapa jam yang lalu, aku dengan santri-santri lainnya bersama-sama membersihkannya sampai bersih.

Itulah diantara rutinitas yang aku jalani. Menyapu halaman pondok saat pagi dan sore. Seringkali rasa letih capek menimpa diri ini. Tapi toh aku harus kuat.

Di sini, Abah Yai telah menerimaku dengan tangan terbuka. Tiap hari sudah diberi ilmu. Tiap hari sudah dirumati dengan baik dan lebih dari cukup. Dengan apa lagi aku dapat membalas kebaikan beliau selain mengabdi dengan sepenuh jiwa raga. Aku yang dulu berstatus santri non-reguler (gratis) harus lebih sadar diri melebihi santri reguler.

Diluar rutinitas yang ada, saya sering menjadi pendamping event dan lomba. Maklum, sebagai julukan Kota Pelajar, Jogja memang menawarkan berbagai kegiatan yang meriah dan mewah yang ditujukan untuk berbagai kalangan termasuk para santri.

Prinsip saya, tidak peduli kalah atau menang, yang penting berpartisipasi. Alasannya sederhana, agar para santri tahu kelemahannya. Lomba akan mengajarkan pada mereka bahwa di luar sana ada begitu banyak santri yang lebih hebat.

Dengan begitu, mereka juga akan semangat dan antusias untuk mengaji, belajar, dan berlatih. Demi meraih masa depan yang cerah.

Hasilnya beberapa piala dan trophy bisa mereka raih serta uang pembinaan yang jumlahnya cukup untuk mentraktir teman. Tentu saja saya tidak sendiri. Saya dibantu oleh pengurus lain dibidangnya masing-masing.

Selain menyapu, aku juga mendapat mandat memastikan para santri untuk selalu tepat waktu shalat jama’ah. Itu artinya aku harus selalu bangun lebih awal dari lainnya. Aku kudu wudhu lebih awal dari lainnya. Tak jarang rutinitas ini membuatku dongkol di hati. Pasti terdapat satu dua tiga santri yang mbalelo. Alasannya klasik. Capek lah, ekstrakurikuler lah, antri mandi lah, sakit lah. Lucunya santri yang bilang sakit itu biasanya hanya di pagi hari. Siangnya nanti sembuh. Sorenya sudah main sepakbola. Kok bisa? Lha iya, mereka itu tidak sakit, tapi pura-pura sakit.

Sebenarnya alasan-alasan seperti itu sangat klise. Padahal kalau niat, mereka bisa mengakalinya. Antri mandi, misalnya, mbok ya ada sebagian santri yang mandi sebelum subuh. Kalau semua santri yang berjumlah total 70 orang itu berjubel dalam tempat dan waktu yang bersamaan otomatis tidak akan muat, apalagi jumlah kamar mandinya hanya 7 ruang. Bayangkan saja itu artinya 1 ruang diperuntukkan untuk 10 orang. Kalau 1 orang mandi selama 5 menit, maka dibutuhkan 50 menit agar semuanya selesai. Itu pun belum alokasi waktu piket dan sarapan pagi.

Menenangkan diri sendiri adalah cara terbaik setiap menghadapi situasi seperti ini. Memang waktu pagi itu paling krusial bagi santri. Aku sendiri pun sering was-was manakala malam menjelang. Was-was kalau tidak dapat bangun lebih awal. Seperti malam ini, pondok punya gawe besar. Ada acara pernikahan besok pagi. Seluruh keperluannya diserahkan kepada pondok dalam hal ini santri.

Sejak tadi siang aku dan teman-teman lain menyiapkan beberapa hal seperti menghitung ketersediaan gelas, sendok, piring, mangkok dan memasang tenda. Adapun dekorasinya dari pemuda setempat. Besok diperkirakan ada 1000 tamu yang bakal hadir di aula pondok mulai jam 09.00-11.00 WIB.

Memang sejak awal dibangun, aula pondok dibangun untuk menjadi tempat serba guna. Sangat sering digunakan pengajian, pertemuan, pernikahan, rapat, dan baksos. Beberapa aset pun dimiliki atas nama pondok seperti alat-alat catering, meja prasmanan, tenda, mobil bak terbuka, dan sound system.

Para santri pun sudah terbiasa dengan situasi ini, bahkan sering acara tersebut bersifat dadakan. Satu sisi hal ini bermanfaat untuk promosi pondok, tapi di sisi lain berbagai acara tersebut akan mengganggu jadwal rutin kegiatan pondok. Tidak perlu heran kalau situasi seperti ini dimanfaatkan santri-santri mbalelo untuk keluar pondok tanpa izin, bahkan beberapa dari mereka harus dita’zir akibar ketahuan bermain Play Stasion. Mereka mencari celah kelengahan pengurus yang fokus terhadap persiapan acara dan job yang telah dibagi.

Selalu aku mendapat tugas cuci piring. Meskipun begitu, aku tetap ikut berpartisipasi terhadap pekerjaan-pekerjaan pra acara. Dekor pengantin masih digarap oleh pemuda. Tugas para santri masih kurang satu; menyiapkan meja prasmanan yang dikoordinir oleh Kang Ma’ruf. Untuk masalah satu ini, biasanya langsung dipantau oleh Abah Yai karena mengikuti kebutuhan dan situasi yang ada. Sering berubah-ubah formasi. Sambil menunggu Abah keluar dari ndalem, sesekali saya menyerutup kopi hitam yang tadi disuguhkan Mbak Sri.

Sejujurnya aku tidak terlalu suka kopi. Tapi karena sudah dibuatkan oleh Mbak Sri dengan segala hormat aku meminumnya. Kata Abah, tidak baik menolak pemberian orang lain.

Berbeda dengan teman-teman, aku bukanlah peminat dan penikmat kopi. Bagiku minuman satu ini ku anggap tidak istimewa. Bahkan kalau nongkrong dengan teman sesama santri, aku tetap memesan es sirup bukan kopi. Aku tidak perlu memaksakan kehendak untuk dapat bergaul dengan mereka. Meski sering ditertawakan, aku anggap itu sebagai perhatian, bukan hinaan.

“Santri iku kudu udud lan ngopi. Gak doyan kabeh berarti gak santri,” ucap Kang Ma’ruf.

Aku hanya tertawa renyah mendengarnya. Sudah kebal mendengar kalimat itu ditelingaku.

Bagi pecinta kopi layaknya Kang Ma’ruf, kopi itu penuh dengan filosofi. Hanya pecinta kopi yang mengerti. Ah, sudahlah. Biarkan Kang Ma’ruf dengan secangkir kopi dan sebatang rokoknya. Aku malah terbayang dengan si pembuat kopi, Mbak Sri.

Usianya satu tahun di bawahku. Meskipun begitu, aku tetap memanggilnya dengan “mbak”. Dia juga memanggilku dengan sebutan “mas”. Hal ini sudah menjadi tradisi di pondok pesantren kami untuk saling menghormati satu sama lain dimulai dengan hal-hal paling sederhana.

Dalam keseharian, Mbak Sri ditunjuk untuk mengurusi perdapuran. Tiap pukul 06.00 pagi, Mbak Sri pergi ke pasar berbelanja kebutuhan makan santri. Kebetulan aku mendapat jatah menemaninya ke pasar hari Selasa dan Jum’at. Itulah saat-saat dimana otot-otot tanganku menjadi lebih kuat karena harus angkat junjung barang-barang belanjaan. Kebayang kalau aktivitas ini hanya dilakukan berdua, Mbak Sri dan satu santriwati.

Sampai di pasar, ibu-ibu pedagang sudah sangat mengenal wajah Mbak Sri. Sudah langganan. Mereka tersenyum lalu menyapa sekalian menawarkan dagangannya. Menu wajib yang tidak boleh tertinggal adalah tahu dan tempe.

Sering ibu-ibu itu memberi harga di bawah normal. Barangkali mereka paham karena dagangannya akan dimakan santri yang sedang menuntut ilmu. Pastilah ladang pahala. Malah ada satu pedagang pasar yang setiap hari selalu memberikan sayurnya secara cuma-cuma. Mbok Darmi, begitulah aku mengenalnya dari Mbak Sri.

“Pengen masuk surga bareng Bu Nyai,” jawab Mbok Darmi suatu kali aku bertanya padanya. Aku hanya mengiayakan dan mengamininya. Bu Nyai yang dimaksud adalah Bu Nyai Muthmainnah, pengasuh pondok kami.

Sampai disitu, tugas Mbak Sri belumlah selesai. Nanti sore dia harus memasak barang-barang belanjaan untuk makan santri. Untuk makan siang sudah ada petugasnya. Capek? Pastinya. Tapi toh dia masih bisa menyembunyikannya dalam setiap pertemuan denganku bersama wajahnya paling natural. Wajah perempuan khas dapur.

“Wildan. Wildan. Wildan. Itu kamu dipanggil. Ngalamun aja.”

Seorang santri menepuk bahuku. Ternyata Abah Yai sudah berdiri di depan ndalem. Bergegas aku memakai kopyah hitamku. Merapikan baju. Sandal mana sandal. Kenapa harus hilang disaat yang begitu penting.

Ku percepat langkah kaki menuju Abah Yai. Beliau langsung dawuh untuk menata meja prasmanan sebelah selatan dan utara. Nama-nama petugasnya sekalian dibagi.

Aku langsung menuju teman-teman santri dan menunggu Kang Ma’ruf yang sedang kebelet. Setelah datang, kami siap untuk melaksanakan tugas dari Abah Yai. Terlebih dahulu aku sms seseorang.

"Mbak Sri, gulanya tambahin dong."






Oleh : Ahmad Syafi’in Aslam, Staff TU 1