YANI


Namanya Yani anak ke-6 dari sepuluh bersaudara. Ia mungkin tak jauh berbeda dari anak-anak lainnya yang diusia kanak-kanak ia masih asyik bermain, belajar, mengenal lingkungan sekitar, bahagia dalam dunia imajinasi, dan masih banyak lagi hal yang wajar ia lakukan semasa itu.

Namun, semirip apapun Tuhan menciptakan manusia satu dengan yang lain pastilah ada saja hal yang membuat mereka nampak berbeda. Begitu juga deengan Yani, gadis kecil berjiwa besar.

Jika boleh izinkan aku menyebutnya sebagai  reinkarnasi dari R.A. KARTINI tapi mana mungkin itu terjadi karena Islam mengajarkan bahwa hidup hanya sekali, ah... kau pasti sudah tau itu kan? Tapi itu hanya perumpamaanku saja dari sosok wanita yang tangguh. Sosok wonder woman bagi keluarganya.

Ngomong-ngomong dari mana aku harus memulai ceritanya? Dari saat dia dilahirkan? Ah... kurasa itu tidak mungkin. Karena kapan ia lahir saja ia tak tahu, dan jika kau berfikir bahwa aku bergurau maka dapat aku pastikan 100% kau salah! ya! aku tak main-main soal itu, aku serius!

Dan jangan tanya soal  bagaimana ia mencantumkan tanggal lahirnya di KTP, KK, akte, maupun dokumen-dokumen penting lainnya karena kau takkan percaya! Tapi aku takkan segan memberitahumu hanya untuk sekedar infomasi.

IA MENGARANG SEMUANYA!!!!!!!!!

Bahkan ia juga harus berdebat dengan petugas di Balai Desa hanya karena pemilihan tanggal lahir yang tak sesuai dengan hatinya.

“Em...dibuat tanggal  08 Agustus 1970 saja ya, Bu!”

“Eh...usiaku tak setua itu!! Kau ajukanlah beberapa tahun”

“Kalau tahun 72 bagaimana, Bu???”

“Ajukan lagi!! Aku masih terlalu tua untuk itu!”

“74??”

“Apa wajahku terlihat sudah tua ya?”

Petugas Balai Desa mulai terlihat jengkel.

“Ya sudah bikin tahun 75 saja!”

“Wah sepertinya kau harus pergi ke dokter mata! Aku masih muda begini mau kau tulis kelahiran tahun 75!”

“Lha si ibu maunya ditulis tanggal berapa???”

“Em.... tahun 77 saja, tidak terlalu tua juga tidak terlalu muda.”

Petugas itupun hanya bisa menghela nafas panjang sambil menulis tanggal kelahiran Yani.

Aha!!! Kukira aku sudah menemukan awalan cerita yang pas untukku ceritakan padamu!

Ehem.. begini ceritanya.....

Yani lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ia masih sangat beruntung karena dalam keadaan sedemikian rupa ia tak pernah merasakan kelaparan yang berarti. Ia punya seorang ayah yang giat bekerja dan tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga.

Keadan ekonomi  yang pas-pasan tak pernah menyurutkan niatnya untuk terus belajar. Jangankan uang saku. Untuk membeli buku saja terkadang ia  harus membantu orang tuanya bekerja sebagai petani. Namun itu semua tak jadi masalah baginya, apapun akan ia lakukan demi  mendapatkan ilmu yang ia perjuangkan selama ini. Dalam hati kecilnya ia selalu bertekad agar semangatnya untuk bersekolah tak pernah hilang dari dirinya.

Namun manisnya  bangku sekolah tak selamanya ia rasakan. Seiring berjalannya waktu kebutuhan semakin melonjak sedangkan orangtuanya harus terus menghidupi Yani dan sembilan saudaranya. Sehingga keinginannya untuk terus bersekolah harus ia pendam.

“Duduk disini mamak mau bicara denganmu !” kata mamak sembari menunjuk kursi disampingnya. Ia mengangguk sopan dipenuhinya permintaan mamak tersebut.

“Nduk!sekarang kamu sudah besar. Begitu juga dengan adik-adikmu sedangkan kebutuhan makin hari makin mahal!” mamak menghela nafas panjang.

“Apakah mamak akan menyuruhku untuk behenti sekolah?” tanyanya cemas.

Tak ada jawaban.

Tak lama kemudian mamak mengangguk pelan.

“Mamak ingin Yani putus sekolah ??” tanyanya lagi

Mamak mengangguk lagi.

“Mamak ingin anaknya tak berpendidikan ? Ingin anaknya tak punya ilmu yang mumpuni? Ingin  anaknya tak jadi orang sukses? lalu mamak ingin menikahkan Yani dengan orang yang lebih kaya? Agar mamak tak perlu lagi menanggung  biaya hidup Yani ? iya, Mak ? iya? mamak ingin Yani jadi seperti  itu?”

Mamak hanya menggeleng pasrah.

“Tidak Yani! Tidak !”

“Mamak tidak pernah bermaksud seperti itu! Kalau kamu masih ingin sekolah kasihan adik adikmu nanti!” mamak berhenti sejenak,  membiarkan paru parunya kembali terisi oksigen. “Mereka juga butuh sekolah, Yan! Apa kamu juga tak kasihan kepada kami! Mau makan apa kita kalau kamu masih ingin dengan pendirianmu itu?”
Yani terdiam ia tak bisa berkata apa apa lagi lidahnya kelu.

“Mamak harap kamu bisa mengerti, Yan!”

Mamak beranjak pergi. Meninggalkan Yani sendiri dalam kesedihan. Kini mimpi mimpinya untuk meraih masa depan yang cerah telah hangus, terbakar habis oleh tuntutan ekonomi, menyisakan harapan semu yang  takkan pernah terwujud.

Kini hari harinya sunyi tanpa gelak tawa teman temannya. Tak ada lagi hal yang patut ia banggakan.

Ia di hantui oleh rasa rindu.

Ia rindu bapak ibu gurunya, ia rindu dengan buku-buku usang yang setia menemaninya belajar, ia rindu dengan seragam lusuhnya yang senantiasa membalut tubuhnya kala menuntut ilmu dan segala rindu yang ada di sebuah tempat yang bernama sekolah.

Tak terhitung lagi berapa kali air matanya jatuh tatkala melihat anak anak sekolah dengan bangganya berjalan beriringan memakai  seragam merah putih. Mereka menyusuri jalan dengan penuh canda dan tawa. Mereka bahagia, sedangkan Yani tidak.

Mamak mungkin menyadari hal itu. Sekejam apapun  keputusan yang ia berikan kepada putrinya  Yani tetaplah anaknya. Ia menugaskan Yani untuk mengasuh cucu pertamanya. Ia berharap agar Yani tak bosan terus-terusan di rumah. “Setidaknya Yani punya kesibukan, mungkin akan sedikit mengurangi kesedihanya,” harapnya dalam hati.

Mamak mungkin benar kini Yani punya teman walaupun keponakannya belum bisa diajak bicara setidaknya ia pendengar yang baik.

”Kamu jadi anak yang baik ya Nang! Yang pinter sama orang tua, jangan suka ngebantah perintahnya, dan yang terpenting ....” Yani menghela nafas.

“Kamu jangan kayak mbak! Jangan mau kalo disuruh putus sekolah. Mbak ini orangnya  bodoh. SD saja nggak  tamat! Inget ya! Pokoknya kenang harus sekolah sampai setinggi tingginya. Biar sekali-kali keluarga kita ada yang jadi orang pinter! Oke!” tanpa terasa kini pipinya terasa basah. Cepat cepat ia mengusapnya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri “Ah .....apa yang barusan kukatakan.”

Namun skenario Tuhan terus berlanjut. Belum sempat luka dihatinya sembuh kini luka itupun kian bertambah lebar. Dadanya sesak.  Ia tak habis pikir, tega sekali orang tuanya menjodohkannya dengan laki laki yang tak ia kenal sedikit pun.

“Kami akan menyekolahkanmu Yani!”

Deg.....

Jantung Yani serasa berhenti.  Dalam hati ia bersorak bahagia. Ia akan sekolah lagi! Sebentar lagi ia akan melepas rindu dengan sekolah. Ia bisa belajar lagi tanpa merepotkan mamak dan bapak.

“Tapi....” ibu itu tak meneruskan kata katanya. Ia sengaja menggantungkanya.

“Kau harus menjadi  menantu kami bagaimana?” Ibu itu mengangkat kedua alisnya.

Yani bimbang disatu sisi ia masih ingin bermain dengan teman temannya, namun disisi lain ada kesempatan yang tak ingin ia lewatkan. Ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri  antara iya dan tidak. Akhirnya Yani menganggukkan kepala. Satu jawaban yang ia rasa cukup untuk menjelaskan semuanya.

Ia sadar dengan keputusannya itu ia akan kehilangan sebagian waktunya. Ia juga sadar bahwa setelah menikah ia akan berpisah dengan keluarganya dan ikut tingal bersama suaminya. Tapi tak apalah asalkan bisa sekolah lagi apapun siap ia lakukan.

Kini ia telah menyandang status sebagai seorang istri. Ia masih berusia kira kira 11 tahun kala itu. Ya!!!  Yani telah berkeluarga. Sangat muda bukan?????? tapi  itu semua ia lakukan semata mata  agar ia dapat bersekolah lagi.

Hari berganti menjadi  minggu, minggu berganti menjadi  bulan. Sudah berbulan bulan kiranya ia menunggu. Biarpun besi habis termakan karat , biarpun kayu habis terbakar api, dan biarpun raga habis termakan usia namun tidak dengan Yani. Ia masih setia menunggu janji mertuanya. Janji yang akan membawanya ke arah bernama  masa depan yang cerah.

Dalam masa masanya menjadi  seorang yang “penunggu” ia sering pulang kerumah bapak dan mamak, mungkin ia merasa bosan disana.

“Pulang lagi!” mamak menegurnya.

“Yani bosan, Mak”jawabnya enteng.

“Enteng sekali kau jawab begitu!”

“Habis disana sepi tak ada orang dirumah! Teman teman semuanya pergi sekolah!”

“lhah!  Disini juga sama tak ada orang! Kakak-kakakmu pergi bekerja sedangkan adikmu masih sekolah! Sudahlah kembali saja."

Yani menggaruk garuk kepalnya yang tak gatal “Aduh bukan begitu, Mak.”

“Lalu ada apa datang kesini?”

“Aku mau minta mondok sajalah, Mak!”mamak membelalakkan mata. Beliau berkacak pinggang.

“Apa kau bilang! Kau ingin mondok??? Tobat  Yani!! Tobat!! Duh gusti ada apa dengan anakku yang satu ini???” mamak nampak  mengelus-elus dadanya dan memijit  mijit kepala. Yani kebingungan ia menggernyitkan alisnya sambil menggaruk-garuk kepala.

“Kenapa, Mak , salah ya kalau Yani bilang ingin mondok?”

“Kamu nggak salah nduk! Tapi mondok itu mahal nduk! Butuh uang banyak! Sedangkan kita makan saja susah!!! Sudahlah jangan buat mamakmu ini kena serangan jantung, lagi pula Bu Ida kan sudah berjanji akan menyekolahkanmu kan!”

Yani tersenyum kecut “Heh , janji menyekolahkan Yani ya? kukira itu hanya sebuah  iming iming agar Yani mau menikah dengan Hardi kan?” Wajah mamak terlihat pucat pasi.

“Kamu ngomong apa, Yan!”

“Iya kan? Mamak  menyuruh Bu Ida dan Pak Parjo bicara seperti  itu kan?” kini Yani tak dapat lagi membendung semua kekesalannya.

Mamak diam seribu bahasa.

Semenjak perdebatannya dengan mamak beberapa hari yang lalu Yani memutuskan  untuk pergi ke tempat Kyai Bahar untuk ikut mengaji dan belajar ilmu agama di sana.
Ia sudah muak dengan semua ini. Ia muak menunggu janji Bu Ida yang tak tau kapan janji itu akan terwujud. Ia juga sakit hati karena telah merasa dibohongi . Ya .... Yani  memang dibohongi. Janji yang selama ini membayanginya  hanyalah kedok agar ia mau dinikahkan dengan Hardi.

Namun disuatu pagi Bu Ida datang ketempat Kyai Bahar. Rupa rupanya ia ingin menjemput Yani. sekali lagi Yani harus rela melepaskan mimpi  nya untuk belajar. Di perjalanan Yani diam ia sedang tak ingin berbicara barang sepatah katapun. Bu Ida menyadari akan hal itu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya:

“Kenapa Yani kabur dari rumah?”

“Yani bosen, Buk!”

“Yani bosen dirumah gak ada temen?” nampak Bu Ida mulai cemas.

“Bukan, Buk! Bukan itu! Yani bosen nunggu janji  ibuk yang gak tau kapan terwujud!”

Bu  Ida tercekat. Ia menghela nafas panjang. Dalam hati ia berkata ”Dia bukan gadis biasa, bahkan sudah hampir 3 tahun ia putus sekolah namun tekadnya tak pernah hilang atau sekedar samar dari dalam hatinya. Bahkan ia rela menikah hanya demi sekolah, dan sampai saat ini pun ia masih ingat akan janji itu. Gadis yang luar biasa”.
Begitulah Yani. Gadis yang tak pernah kehilangan mimpi. Dan hingga  saat ini mimpi mimpi itu pun tak pernah berhenti  menginspirasiku. sampai saat aku menulis kisahnya kisahnya mimpi itu tak pernah hilang dari otakku.

Dan sekarang  ia masih menjadi  Yani  yang hebat. Dari rahimnya lahir anak anak yang luar biasa. Mimpi untuk bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi darinya kini terwujud. Anak pertamanya kini telah menyandang gelar Sarjana Ilmu Biologi Universitas Walisongo Semarang. Anak keduanya kini juga sedang menyelesaikan semester terakhirnya  di jurusan Dakwah dan Komunikasi. Sedangkan si bungsu  yang masih duduk dibangku SMP yang kini duduk tak jauh dari tempatku tengah asyik menonton vidio. Entah apa itu.

Yani memang bukan santri namun ia berusaha untuk tak buta soal agama. Ia mungkin juga tak tamat SD namun tekadnya untuk  belajar  masih membara bak api yang tak kan pernah padam. Baginya ilmu tak hanya diperoleh di bangku sekolah, namun selagi kita mau tuk mencarinya maka ia akan ada dimanapun kita berada.
Sekian....

Tekutaka


Ditulis oleh Fadela