AJARI AKU SEPEDA MOTORMU



Allahu akbar allahu akbar
Laa ilaaha illallah...

Lamat-lamat kudengar suara bang Azman setelah sepertinya ada yang memanggil sambil menggoyang-goyangkan kaki kanan dan kiriku berulang kali hingga ku terbangun, terkejut. Tak mungkin. Bukan, ya, itu memang bukan.

Beberapa saat sambil duduk merapikan kain bermotif batik milik ibu yang dibawakan untuk kupakai selimut tidurku, ku tunggu ternyata bang Azman tak lagi pegang mikrofon dan melafalkan puji-pujian seperti biasanya.

Oh, berarti yang tadi bukan azan tetapi iqamat. Pantas, tak ada lagi suara si abang tukang tambal ban yang sehari-hari selalu menyempatkan diri berazan dan beriqamat di masjid  samping tempatnya berkarya. Pikirku dalam hati.

Bergegas ku menuju kamar mandi untuk mengambil air suci guna melapor serta mensyukuri kondisi diri yang baik ini kepada ilahi rabbi Tuhan sang pencipta langit dan bumi beserta isi dan segala fungsi.

Sang surya belum menampakkan keangkuhannya saat kubuka pintu rumah Pak Dar yang dipakai sebagai asrama tempatku tinggal di sini, di tanah Melayu Kepulauan Riau. Suara deburan ombak di pagi buta itu terdengar sangat dekat di belakang telingaku. Rumah yang hanya dipisahkan kebun pisang beberapa meter persegi terasa sangat renyah sekali kala pagi.

Pagi itu seperti biasa, meski baru beberapa minggu ini kulakukan, aku terus membiasakan diri untuk selalu joging, berlari-lari kecil di gang menuju pesantren yang sedang dibangun oleh pemerintah. Sambil terus membayangkan sembari mendoakan semoga tidak hanya berlari-lari kecil antara ujung gang tetapi suatu saat bersama-sama istri yang masih disimpankan Tuhan serta bapak dan ibu yang kini juga sedang berkarya dengan aktifitasnya, bisa berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa seperti yang dulu pimpinan sebuah biro haji dan umroh sering cerita kepada para calon jamaah di sebelah sekretariat tempatku bekerja sebelum aku di hubungi salah seorang kawan di Jakarta untuk mengikuti seleksi tim pendamping pembangunan pesantren di wilayah perbatasan.

Ada beberapa daerah yang menjadi titik program tersebut, selain di Pulau Sebatik Kalimantan Utara, juga ada pesantren serupa di provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, juga yang sedang menjadi fokus pemerintah yakni di Pulau Parit Kabupaten Karimun provinsi Kepulauan Riau tempatku berkarya sekarang.

“Bepeluh sangat macam tu, Bang.”

Teriak pak Galak sambil berlalu mengantar anaknya ke pelabuhan di ujung pulau. Setelah menamatkan pendidikan setingkat SMP, putra putri bangsa ini termasuk Nanda anak pak RW itu harus seberangi laut untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena di pulau Parit ini belum ada lembaga pendidikan formal setingkat SMA.

“Aok...” balasku dengan nada sama tinggi.

Beberapa minggu tinggal di pulau ini mengharuskanku melakukan proses adaptasi yang ekstra. Sering kali orang bicara hanya ku iya iyakan saja karena mereka tak terbiasa berbicara dengan bahasa Indonesia. Mereka lebih suka berkomunikasi dengan bahasa daerah.

Ya, aok adalah ya, jawaban simpel nan sederhana. Kata itu sering kudengar hingga lama-kelamaan menjadi keluar sendiri ketika ada yang menyapa. Atau saat membeli teh tarik di kedai seberang rumah. Ataupun ketika sedang di pelabuhan menunggu pancung yang akan mengantarkan ke seberang untuk membeli bahan makanan.

Pancung adalah sebutan orang Melayu untuk perahu bermotor yang dikemudikan dari bagian belakang. Iamerupakan media transportasi laut yang wajib ada di pulau ini. Keberadaannya sangat berharga sekali. Mengantar anak-anak sekolah, membawa barang-barang belanjaan para pedagang di pulau, atau bahkan saat menyeberangkan jenazah dari rumah sakit di pusat kota, pulau seberang, untuk dibawa pulang dan dikebumikan di pemakaman dekat  rumah.

Kring kring, kring kring
Nada khas classic bellberbunyi pertanda pesan masuk di handphone-ku tepat saat aku masuk ke rumah asramaku.

“Assalamu’alaikum, pagi man temaaan, sarapan udah siap niihhh, mau sarapan sekarang apa nanti ???”

“Wa’alaikumussalam, siap mbak.” Jawabku singkat membalas pesan dari salah satu kawan yang juga satu program disini.

Tinggal jauh dari rumah memberi pelajaran agar kita siap dengan segala kondisi, siap bertemu berbagai karakter dan watak orang lain, sekaligus mengajarkan kita untuk survive, bertahan dengan apapun keadaan.

“Mas, gimana kabar bapak di Jepara?” Tanya bang Andi setelah sesendok nasi lauk kering tempe dan sayur daun bayam pagi itu selesai dikunyah.

“Alhamdulillah, sehatbang. Tadi sempat ku hubungi lewat kakakku, seperti biasa beliau lagi di kursi depan TV baca Alquran. Kemarin kata kakakku sih sempat sakit kaki kirinya gak kuat dipakai buat berdiri. Tapi ya gitu, pas kutanya bapak bilang gak kenapa-kenapa.”

***
“Kok kesusu nang?, gak sarapan disek?”

“Mboten pak, mangkeh mawon, niki Gus Pur minta kulo segera ke ndalem, wonten calon jamaah haji ingkang badhe daftar. Kulo berangkat riyen nggeh pak. Assalamu’alaikum.”

Ajakan bapak untuk sarapan sama-sama kuabaikan karena janji akan kembali bekerja keesokan hari setelah kemarin tepar karena kehujanan saat mengambil dokumen paspor di kantor imigrasi milik jamaah umrah yang rencana berangkat bulan depan.

“Oh iya nang, nek lego waktumu, timbangane motormu nganggur nengomah, mbok aku di ajari, ben nek malem rebo mangkat muleh ngaji ora mlaku.”

“Insya allah pak, mangkeh nggeh, niki nembe katah jamaah ingkang badhe berangkat bulan niki.”

Sambil terus kupandangi jam di tangan kiriku serayakeluar rumah masih saja bapak menahanku. Tidak kurang dari 150 calon jamaah umrah yang kukelola administrasinya.

Honda Astrea Grand di rumah itu sejatinya bukanlah milikku karena uang yang kukeluarkan untuk membawanya pulang tidak lebih dari 15%-nya harga yang disepakati, selebihnya adalah milik bapak ibu. Tapi karena di awal aku bekerja di perusahaan penyedia jasa layanan haji dan umrah belum ada kendaraan inventaris jadi aku harus sedia sendiri demi kelancaran pekerjaanku. Meski begitu, bapak dan ibu prihatin dan mengumpulkan uang tabungannya supaya tidak kerepotan pinjam sana sini, mereka tetap saja berikeras kalau ada yang bertanya siapa yang membelinya pasti dijawab Rohman yang beli, aku, anak lelakinya.

Tepat setahun aku bekerja, salah seorang kawan kuliah di Semarang dulu menghubungiku, katanya ada kesempatan dari salah satu kementerian untuk seleksi masuk tim pendamping pembangunan pesantren di Kepulauan Riau. Beberapa kawan yang recommended dihubungi  dan minta waktu untuk memutuskan, termasuk aku.

Bapak menghentikan bacaan Qurannya setelah kuajukan permintaan ijin mengikuti seleksi di Jakarta. Ini kesempatan, mungkin tidak datang lagi lain kali. Pikirku.

“Berangkat. Selagi masih bisa, selagi masih muda, jelajahi dunia. Bapakmu dulu hanya seorang pelaut, itupun masih perahu dayung, paling jauh sampai Pulau Mandalika ataupun sepanjang pesisir laut Batang. Berangkat, insya allah bapak ridlo.” Dengan mantap beliau menjawab keraguanku. Sekarang tinggal ibu. Dalam hati kuyakin ibu akan sangat berat melepaskan.

“Gak opo-opo, berangkato nang.”

Belum sempat aku berkata apa-apa, muka ibu sembab menahan laju ketidakmampuannya. Setelah ku tanya pelan-pelan, kupastikan sesuai dengan yang kupikirkan.

“Sebenarnya ibu tak bisa merelakanmu pergi sejauh itu, lintas pulau. Belum lagi disana kehidupannya bagaimana. Apalagi katanya harus naik pesawat, kapal, perahu terakhir ojek baru sampai lokasi penempatan. Bapak ibumu sudah tua, kalau terjadi apa-apa kansusah. Tapi ibu gak bisa apa-apa jika bapakmu sudah berkata iya, berangkatlah, Nak. Doa ibu insya Allah selalu bersamamu.” 

Kupeluk ibu sembari terus mengusap lelehan air mata di ujung kepedihan melepas kepergian anak terakhir, lelaki sesatunya. 

***

Hari raya Idul Fitri 1435 H merupakan momen yang ditunggu, oleh keluarga dari tiga daerah di pulau berbeda, Medan di Sumatera. Jakarta, Bogor, Demak dan Jepara di Jawa serta Negara di Bali. Ya, kami berenam dari enam daerah yang berbeda, bahkan ku temui mereka pertama kali di sini, meskipun kami satu program dan seangkatan namun beda kampus dan jurusan.

“Ati-ati yo, Nang! Ojo lali kitabe nek keri. Mengko diwulangno neng kono.” Kata bapak saat aku minta izin berangkat ke tempat tugas lagi, sempat ku pegang dan ku cium punggung telapak tangannya, hangat. Belum sampai ke tujuan, ku coba menghubungi dua orang kakakku.

“Kak, aku lali biyen bapak pernah minta diajari naik motor, sampe saiki aku durung sempet ngajari, tulung sampeyan nek luang waktune bapak diajari ya, ben nek ngaji reng masjid Madrasah ora mlaku.”

Satu persatu ku kasih tahu. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat permintaan bapak yang belum bisa ku penuhi malah kini aku tinggal pergi bertugas di daerah antah berantah jauh dari rumah.

***

“Nang, awakmu iso muleh tah ora? Iki bapak tak gowo reng Kartini.”

Pesan singkat dari salah satu kakakku seperti memutarkan kembali seluruh kepingan kenangan dan memori. Satu persatu kisah dan cerita bersama bapak tiba-tiba terproyeksikan ke dinding kamar. Ah, tidaklah, hanya kekhawatiran-kekhawatiran tak berlandasan.

“Kak, sepertinya aku belum bisa pulang, masih ada tiga bulan sebelum purna tugas di sini. Aku akan berdoa dari sini untuk kesembuhan bapak. Gejala stroke ya, Kak. Semoga segera mendapatkan obatnya.”

Kukirimkan pesan balasan tanpa perasaan, hambar tak karuan. Mencoba mengusir bisikan-bisikan tak mengenakkan. Ya Allah, sembuhkanlah bapakku, ijinkanlah ku temui dia walau sesaat.

***

“Teman-teman, mohon doanya sekali lagi, Senin ini genap dua minggu bapakku dirawat di rumah sakit, rencananya mau dibawa pulang karena tak banyak perubahannya. Malah katanya semakin kurus karena gak ada makanan yang masuk, hanya cairan infus yang menahannya.”

Allahummasyfihi syifaan laa syifaa a illaa syifauka syifaan laa yughodiru wa laa saqoman, lahul faatihah...

Doa dipimpin oleh ketua tim diiringi amin keempat kawan seperjuangan. Kuceritakan waktu di rumah sakit saat bapak ditanya hanya mampu manthuk-manthuk ataupun geleng-geleng kepala. Kala ketiga kakakku sudah berkumpul di ruang pojok bawah tangga menuju ruang isolasi rumah sakit, dan hanya aku yang belum ada.

“Bapak pengen ketemu Rohman?” dan beliau hanya mengangguk tak tahu apa yang dikata, hanya lelehan air mata yang terus membanjir yang selalu diseka ibu yang tetap setia menunggu tanpa pernah sekalipun mengeluh. Bapak berkali-kali dipakaikan baju yang kutinggalkan di rumah, hem kotak-kotak warna hijau, atau hem pendek warna cokelat yang dulu sering kali melekat.

Bergantian teman-teman perempuan mengusap setitik demi setitik mutiara yang tak mampu ditahannya melalui tepi jalan yang paling rawan di mukanya.

Tiga hari berturut-turut beberapa saudara hingga pengasuh pesantren tempatku dulu mengabdi pun turut prihatin akan keadaan yang sedang datang. Mereka seperti berjanjian menelponku, Lek Karmisih, Kak Suwarno, Kak Sholikhul, Om Sutikhingga Ning Nisa pengasuh pondok yang mengirimku untuk ikut seleksi beasiswa hingga aku di posisi sekarang, dikirimkan oleh salah satu kementerian untuk bertugas di daerah pun mencoba memintaku segera pulang.

***

“Mas, sudah booking tiket pulang?”
“Belum Om, gak bisa booking nih. Kayaknya harus langsung ke konternya di Hang Nadim nanti.”

Seperti biasa di malam Jumat seperti ini, tim pendamping pembangunan pesantren meliburkan kegiatan bimbingan belajar dan menggantinya dengan diskusi internal. Membicarakan hal-hal yang urgen untuk segera diputuskan. Misalnya ada permintaan menjadi khutbah jumat di Masjid Nurul Huda esok hari siapa diantara bertiga yang akan mengisi. Secara bergantian akan mendapatkan kesempatan. Atau permintaan menjadi pemateri untuk kegiatan Ibu-ibu PKK, ataupun turut serta dalam persiapan lomba yang diikuti oleh Poskesdes desa sebelah dengan memberikan materi tanaman obat keluarga (Toga), ataupun kalau sedang tidak ada permintaan, maka saat-saat itu digunakan untuk saling bertukar pikiran mengenai cara keberagamaan masing-masing karena background pesantren asalnya berbeda-beda, indah dan harmonis.

“Teman-teman, besok saya mau nyeberang, mau ke Poros, menemui Pak Jun untuk meminta izin pulang. Mungkin saya akan berangkat sendiri soalnya habis dari Yayasan langsung ke Harbou Bay terus ke Hang Nadim.” Pelan sekali kuungkapkan sehingga tidak merusak suasana canda tawa bersama.

“Jangan sendirian mas, nanti biar kutemani, kebetulan aku juga mau ke Balai, mau ke ATM.” Fuad langsung nyambungpembicaraanku.

“Eh, kok pada mau pergi sendiri-sendiri gitu sih, mending kita sama-sama ke Yayasan-nya mas, nanti kita minta izin ke Yayasan bareng aja.” Mbak Ulfi seperti menutup ruang untuk mengelak.

“Iya, Mas. Ada baiknya kita pergi bersama, siapa tahu nanti sampeyan perlu apa kita bisa bantu. Biar pulang jadi tenang.” Bang Andi ketua tim menutup diskusi.

“Terima kasih teman-teman.” Tepat setelah ku akhiri perbincangan malam jumat ini, handphone-ku berdering, nama Mbak Ru yang muncul.

“Assalamu’alaikum, Mbak. Pripun?”
“Wa’alaikumussalam, Nang. Iki bapakmu wes sradi nemen, kuwe iso muleh saiki tah ora?”

Suara ibu yang menjawab salamku, dan tetiba tengkukku seperti ada yang  meniup pelan-pelan hingga merinding mendengar kata-kata ibu barusan.

“Dereng saget bu, mangkeh enjeng nembe nyeberang izin ten Yayasan rumiyen. Menawi Sabtu nembe saget dugi griyo. Pripun?”
“Muleh saiki ora iso, Nang?”
“Insya Allah mangkeh enjeng kulo derekkapalkang paling awal, rencana kulo meh mundut pesawat kang langsung ten Semarang kersane mboten mampirJakarta, kersane cepet.” Kucoba menenangkan Ibu yang sedari tadi sesenggukan menahan tangisnya.

***

“Gak tidur Om?”
“Gak iso turu, Om. Aku packing baju sekalian beresin kamar aja om.”

Malam ini tak bisa kulewatkan dengan hanya tidur saja. Mata serasa masih On. Kumanfaatkan untuk membersihkan kamar, melipat kasur busa tebal 5 cm, menata beberapa buku dan kitab kuning yang kubawa dari rumah, yang beberapa waktu lalu sering ditanyakan oleh bapak, apakah sudah mulai mengajar Jurumiyah atau Umrithy dan kujawab belum bisa karena belum ada santrinya, meskipun sudah ada akan ada penyesuaian bahasa kalau dibaca sesuai dengan yang dulu kupelajari menggunakan bahasa Jawa khas pesantren salaf.

***

Assalamu’alaikum warahmatullah.

Assalamu’alaikum warahmatullah.

Kedua malaikat di kanan dan kiriku mendapatkan salam setelah kutunaikan salat Shubuh munfarid di kamar setelah coba kubangunkan kedua teman di kamar sebelah namun belum ada tanda-tanda terbangun.

Tak lupa kupanjatkan doa teruntuk bapak di rumah yang sedang sakit.
Ya Allah, izinkan aku bertemu bapak walau sesaat waktu untukku. Rabbighfirliy waa liwaalidaiyya warhamhuma kama rabbayani shagiiraa. Amin.

Kriiingg…

Kriiiiinggg…

Nada classic phone khas nada panggilan masuk bertalu-talu. Segera kucari ternyata sudah di dalam tas. Kak Udin.

“Assalamu’alaikum, Kak.”
“Wa’alaikumussalam, Nang, seng sabar ya, Nang, bapak tinggal.Nek kuwe iso muleh saiki yo dienteni.Kiro-kiro iso tekan omah jam piro Nang?”

Lama kuterdiam membisu, mencoba mencerna kata-kata yang barusan kudengar. Benarkah itu, ah tidak, Kak Udin pasti bercanda, dia hanya mau aku segera pulang saja biar menjadi obat penyembuh paling ampuh untuk bapak, yaa, pasti begitu.

“Piye, Nang? Iso tekan omah jam piro?”
“Enteni, Kak. Iki aku langsung muleh ora mampir Yayasan, mengko tak izin lewat telpon. Enteni yaa.”

Pintaku sembari menahan agar tidak menetes dulu hingga aku menyeberang. Kalau tidak, teman-teman pasti tahu dan justru akan menahanku ataupun menemaniku pulang, aku gak mau merepotkan mereka. Apalagi ini masih shubuh, di luar pasti masih gelap.

Tanpa memberitahu, kubangunkan Fuad dengan tergesa.
“Bang, tolong antarkan ke pelabuhan ya, aku kayaknya harus pulang sekarang, nanti nitip salam saja sama Yayasan ya.”
“Oke mas, sebentar ya kuambil motor dulu.”

Setelah membangunkan dan berpamitan dengan semua, tentu saja mereka menyimpan tanya seperti yang kuduga. Tak apa kawan-kawan, aku akan kuat kok, tenang saja, pikirku dalam hati.

Pagi buta ini kunaiki perahu pancung hanya berdua dengan yang punya, pegang setir di belakang setelah kuketok pintu rumahnya untuk meminta mengantarkan ke seberang, ke pelabuhan internasional.

Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun kekecewaan yang menyambutku karena ternyata kapal fery yang pertama berangkat hampir dua jam lagi. Segera kukalkulasi jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan. Sebentar kemudian kudapati, zonk. Ini pasti tak sampai pada waktunya. Kalau dari sini jam 07.00, jam 09.00 baru sampai di Pelabuhan Sekupang Batam, dari sana ke Bandara Hang Nadim butuh waktu 30 menit. Padahal pesawat yang ke Semarang berangkan jam 09.45. Ya Allah, kupasrahkan semua kepadamu, hanya padamu ya Allah. Aku ikhlaskan bapak menujumu tanpa sempat kubertemu sekedar mencium keningnya untuk terakhirku.

Kuputuskan untuk menghubungi kakakku agar bapak dimakamkan tanpa menunggu kehadiranku, entah siapa nanti yang mengumandangkan adzan di telinga bapak.

“Kak, bapak lebih baik dimakamkan tanpa menunggu kepulanganku soalnya ini baru dari Karimun dan tidak bisa ambil penerbangan awal, apalagi sekarang hari Jumat, hari baik.”

“Yowes nek kuwe wes lego, wes lilo, seng sabar yo nang.”

***

Kupandang jendela di sebelah kananku, tampak gedung-gedung yang tinggi menjulang, suatu hari insya Allah akan kusinggahi kalian semua, Singapura. Sejurus kemudian, nampak wajahku yang kelihatan kusam di kaca jendela, mata sembab menahan deru air mata. Di kaca itu berkelebat wajah bapak, dan pertama kali muncul adalah saat bapak minta diajari naik sepeda motorku. Dan, scene itu berkali-kali muncul seperti playlist yang isinya diputar dengan mode repeat one.

“Nang, mbok aku diajari numpak motormu, ben nek malem rebo ko ngaji ora muleh mlaku.”

Selamat jalan, Pak. Maafkan anakmu yang tak sempat bertemu.


Oleh : Bapak M. Ali Romdhon, Guru Mapel Bahasa Arab dan Ke-NU-an