ANTARA AKU DAN NARKOBAMU



Pagi ini  kuawali hari ini dengan sebuah ta’ziran dari pengurus pondok. Mau tidak mau ku jalani saja ta’ziran berupa menyapu halaman yang luasnya minta ampun itu dengan setengah hati. Untung saja sebuah suara menyelamatkanku.

“Citra… ada telfon buat kamu,” panggil sebuah suara dari dalam.

Kulempar sapu lidi yang sedari tadi ku pegang  ke segala arah. Tampak mbak Yuni memberengut tak suka saat kutinggalkan begitu saja. Tak perlu pikir panjang kutinggalkan pengurus yang hobi memberiku ta’ziran tersebut.

“Mungkin dari bunda,” batinku menduga dan benar saja telfon tersebut memang dari bunda. Dalam beberapa menit lamanya aku asik mengobrol dengan beliau.
“Kamu yang hati hati aja disana. Disini, bunda lagi banyak kerjaan!” pesannya padaku.

Ku hela nafas panjang setelah ku akhiri percakapan dari bunda. ”Selalu saja begini “ umpatku dalam hati. Mencoba menenangkan perasaanku yang campur aduk. Mataku menatap langit langit. Mencoba menghalangi butir butir air mata jatuh dari kelopak mataku. Aku beranjak dari tempatku, lalu melenggang pergi ke kamar untuk bersiap pergi ke sekolah.

Inilah aku Irani Citra. Orang orang akrab memanggilku Citra. Anak tunggal yang lahir dari rahim seorang wanita yang super sibuk, tapi sudah lah itu tidak penting.

”Huuftt Ahamdulillah! untung aja nggak telat,” ujar ku seraya mendudukkan pantatku  di kursi. Feni teman sebangku ku mengerutkan dahi heran.

“Kenapa? Kamu dihukum lagi?” tanyanya padaku.

”Yap. Kamu bener banget. Bayangin aja deh Fen! Baru aja bangun tidur langsung disuruh nyapu halaman. Siapa aja pasti bakal ilang moodnya,” aduku pada Feni. Gadis itu justru tertawa. Membuatku makin sebal dibuatnya.

“Gara gara apa? Kamu nggak ikut jamaah lagi atau males ikut kegiatan?” Ia mencoba menebak. Ku ceritakan percakapanku dengan bunda tadi pagi. Feni serius menyimak ceritaku.

“Maklum lah … Bundamu kan sibuk, jadi nggak sempet nengok kamu.”

“Kayaknya uang lebih penting kali ya dari pada anaknya yang udah hampir 2 bulan nggak ditengok,” ujarku mencibir bunda.

Kenalkan temanku yang satu ini namanya Feni. Kami berteman sejak kelas 10 aku yang saat itu masih tidak mengerti apa apa sengaja mengajaknya ngobrol. Bukannya gimana gimana aku hanya sekedar ingin tau sedikit tentang gadis yang berpenampilan  nyentrik tersebut lebih banyak.

Bagaimana tidak?

Sehari-hari ia berangkat ke sekolah dengan rambut yang di kuncir asal asalan. Seragam yang masih belum di masukkan serta sepatu kumal yang diikat sembarangan. Bagi kami teman sekelasnya. Hal itu bukanlah  hal baru. Perbincangan tersebut berimbas pada kedekatan kami berdua hingga akhirnya aku berteman dekat dengan Feni.

“Gimana kerjanya bundamu? Ada kasus apa lagi?”

“Tadi malem bunda baru nggrebek pesta narkoba di Depok. Kamu tau? Ngeri banget tau! Sebagian besar masih dalam status pelajar,” ucapku bersemangat.

Feni menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. “HAH! Beneran? Parah banget itu…” ia tak percaya

“Sayang bangetkan! padahal masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Gimana bangsanya bisa cerdas coba? Kalo masih sekolah aja udah kayak gitu” aku berargumen dengan berapi api.

“Tapi udah lah. Itukan udah biasa, Cit, di tongkrongan-tongkrongan sekitar kompleks aja biasanya juga gitu.

“Ah! Sayang sekali. Temanku  satu ini memang memiliki jiwa nasionalis yang tergolong rendah."

“Nah ini! Ini juga yang jadi masalahnya!" tunjukku kesenangan.

“Maksudnya? Kok bisa aku?” Feni mengernyitkan dahi.

“Kalau yang ada disekitarnya aja nggak peduli, gimana kalau yang berada jauh disana?”

“Ah udah ah! Peduli amat sama yang gituan,” ujarnya cuek. Lantas beranjak pergi keluar kelas. Itulah Feni , gadis yang lahir dari  kalangan masyarakat yang tergolong bawah membuatnya berfikir bahwa hal hal semacam itu di anggap tidak penting.

“Feni pergi kemana, Cit? Kok dari tadi belum keliatan orangnya,“ tanya Lita dari belakang dengan sedikit berbisik pada saat jam pelajaran  IPA.

“Nggak tau tuh. Ke kamar mandi kali,” jawabku  pelan. Lita mengerutkan dahinya.

“Ya nggak mungkin  lah. Mana ada ke kamar mandi sampe lama banget  kayak gitu,” bantahnya tidak setuju.

“Bolos mungkin,” imbuhnya lagi. Kata kata Lita memang benar adanya, sampai jam pulangpun Feni masih belum kelihatan batang hidungnya. Hal ini memang bukanlah yang pertama kali bagi Feni bahkan sudah jadi tabiatnya. Bolos di jam pelajaran, bahkan bolos sekolah. Apapun alasannya aku tetap tidak suka kebiasaan Feni yang satu ini.

Bubar sekolah, cepat cepat ku langkahkan  kakiku bersama teman teman lainnya menuju terminal yang letaknya tak jauh dari sekolahku untuk naik bus jurusan ponpesku. Petikan gitar pengamen menyambutku kala ku masuki kendaraan tersebut. Suara pedagang asongan yang menawarkan dagangannya pun seperti tak mau kalah dengan bunyi mesin bus yang siap melaju. Suasana hiruk pikuk siang ini lah yang membuatku  ingin  cepat  cepat pulang ke pondok.

Aku duduk disebelah Nunung  kebetulan ia juga satu ponpes denganku walaupun  kami berbeda kelas. Seorang bocah laki laki sekitar  10 tahun umurnya memasuki bus. Rupanya ia seorang pengemis. Aku kasihan melihatnya. Sampai pada akhirnya ia berdiri di sampingku tangannya mengadah. Meminta. Sungguh! Aku iba padanya mataku mengamati bocah laki laki itu dari atas hingga bawah. Badannya kurus. Rambutnya kusut  tak terawat. Baju yang ia kenakan pun lusuh  seperti nya sudah lama. Ku beri ia satu lembar uang lima ribuan. Ia terlihat senang.

“Makasih, Kak,” ujarnya sambil tersenyum. Lalu ku balas senyumannya.

Anak yang malang di usianya yang masih kecil bukannya menikmati bangku sekolah. Menimba ilmu bersama anak anak lainnya. Anak itu justru harus mengemis demi mendapat  lembaran  rupiah yang tak seberapa. Ah! Indonesia malang benar nasib rakyatmu saat ini. Kesejahteraan rakyat saja  masih  belum  bisa dinikmati oleh semua golongan. Lalu dimana janji para pemimpin  untuk menjamin kesejahteraan  mereka semua?  Jika nasib para generasinya saja  masih tidak menentu. Banyak anak  terlantar, putus sekolah, tak punya biaya untuk sekolah sehingga meraka harus mengemis, mengamen, berjualan koran dll. Bukan tanpa sebab, tuntutan ekonomilah yang membuat mereka terpaksa  meninggalkan bangku sekolah. Miris memang, tapi itulah kenyataannya.

Sampai di pondok segera ku ambil air wudhu. Aku sholat dzuhur. Tak lupa aku ku doakan  orang tuaku, keluargaku, teman temanku  dan masih banyak lagi. Aku juga tak lupa berdoa agar orang tuaku punya sedikit waktu agar mau datang menjengukku. Sehabis sholat ku  hampiri Nunung, lIta, Ara, dan yang lainnya. Mereka tengah asik berbincang. “Cit percaya nggak? Tadi aku lihat si Feni lagi nongkrong sama anak anak  berandalan,” kata Ara antusias. Aku terlonjak kaget.

“Dimana kamu lihatnya?” tanya ku tak percaya.

“Tadi  di dekat pasar. Kalian pasti tau kan? Tempat kayak gitu mah buat ngumpul orang orang nggak bener.”

“Kamu yakin  itu, Feni?”  tanyaku memastikan.

“Ihhhh beneran tau. Orang dianya  aja masih bawa seragam sekolah,” imbuh yang lain. Rupanya bukan Ara saja yang melihatnya.

“Terus?” tanyaku tak sabaran.

”Ya mereka ngobrol aja kayak biasa. Cuman  mereka pada ngrokok  gitu.”

Mendengar penjelasan dari teman temanku tersebut  pikiranku melayang  soal Feni yang bolos  di pelajaran tadi.

”Apa iya Feni bolos  cuma mau kesitu?” pikirku.

“Sebagai seorang pelajar  kalian harus bisa membangun negeri  ini agar lebih baik lagi,” didepan kelas Pak Rahardi terus saja mengoceh  tanpa henti semenjak satu jam yang lalu.

Pak  Rahardi  memang mengajar mata pelajaran PKN. Maklum saja, jika dari tadi yang ia bicarakan hanya tentang peran pelajar untuk Indonesia, karena memang itulah materi yang sedang di pelajari yang menurutku juga  tidak penting penting amat.

”Assalamualaikum, Pak!” ujar Feni seraya masuk ke kelas. Ia terlambat masuk hari ini setelah meminta ijin dari Pak Rahardi, Feni  lekas duduk di sampingku. Aku hanya diam saja tak seperti biasanya.

Bel pergantian jam berbunyi Pak Rahardi keluar  kelas spontan seluruh kelas menghembuskan nafas panjang. Lega rasanya.

”Kemarin kemana kamu? Kenapa sampe bolos pelajaran?” tanyaku dengan nada dingin. “Aku pulang bantu ibuku di rumah,” jawabnya enteng.
Sepertinya Feni masih belum menyadari sikapku.

“Oh ya? Apa bantu ibumu sampe harus nongkrong sama anak anak yang nggak bener segala?” jawabku sengit.

Gadis itu terkejut mendengarnya. “Maksud kamu?”   “Mikir nggak sih kamu Fen? Emangnya kebiasaanmu bolos pelajaran sama bolos sekolah nggak mengaruhi  nilaimu nanti di rapor?”

“Tau apa kamu soal aku?” Feni mulai emosi.

“Emangnya kamu bisa dapet apa kalo kamu kumpul sama anak anak berandalan kayak gitu?” mataku melotot tajam.

“Denger ya Cit! Mereka emang bukan anak pesantren yang alim kayak kamu  tapi mereka juga nggak seburuk yang kamu kira. Bahkan mereka juga lebih baik dari kamu yang nggak pernah bersyukur punya banyak uang tanpa harus mikir hari ini bisa makan/nggak. Besok bisa bayar sekolah apa nggak,” ujarnya  marah.

Mereka juga lebih tahu keadaan ortu kayak gimana. Mereka juga nyoba bantu  sebisa  mereka walaupun harus ngamen sekalipun!” tegasnya lagi. Aku masih tidak percaya apa yang dikatakan Feni barusan. Benarkah aku seburuk itu?

“Terus kamu nyoba bantu kerja keras ortumu pake cara bolos hah!” tanyaku tak mau kalah.

“Kamu nggak tau apa apa. Jadi jangan ikut campur,” bentaknya sembari  melangkah keluar kelas. Aku terdiam cukup lama. Pikiranku terus dipenuhi oleh kata kata Feni barusan.

Saat jam keempat Feni kembali lagi ke kelas. Aku cepat cepat minta maaf padanya.

“Nggak masalah kok  aku juga minta maaf tadi “ ujar nya dengan tangan yang memijit kening.

“Kamu kenapa Fen? Kepalamu pusing?” aku cemas. Tapi ia hanya  menggeleng cepat. Sampai pada akhirnya Rida datang mendekat.

“Wah wah! Aku denger bapakmu kawin lagi ya?” aku makin bingung mendengar pertanyaan Rida.

”Heh! Jangan ngaco ya kalo bicara,” bentak Feni  keras.

“Apa?Emang benerkan? Bapakmu itu sukanya mainin wanita, tukang judi, nggak pernah kerja. Cuma ngandelin uang dari hasil kerja istri sama anaknya doang! Rida menghina.

”Jangan sekali kali bawa nama bapakku apa lagi ibuku. Kalo masalahmu sama aku nggak usah bawa bawa mereka segala,” Feni  berteriak seraya menggebrak meja ia hendak berdiri namun tiba tiba saja ia kembali duduk.

“Da! Kamu ngomong apaan sih? Kasian Feni,” belaku.

“Kamu masih  belum tau siapa sebenernya  anak ini? “Rida balik bertanya.

“Kasian banget! Tapi tenang aja suatu saat nanti aku bakal nunjukin ke kamu kalo anak ini nggak pantes buat jadi temenmu,” tunjuknya  pada Feni. Sedangkan gadis itu justru berlari  keluar kelas. Aku hendak mengejarnya tapi tangan Rida buru buru mencegahku.

“Kamu apaan sih ? Tenang aja dia  emang gitu. Lagian aku  bukan tanpa maksud ngomong gitu ke dia,”  jelas Rida yang membuatku makin heran.

Sudah beberapa hari ini Feni tidak masuk sekolah  sejak kejadian tempo hari itu. Aku pikir ia marah, namun rupanya tidak.  Menurut  teman sekelasnya, ia sudah  berangkat lebih awal dariku. Maklumlah hari ini aku agak terlambat karena harus berurusan dengan ta’ziran sialan itu lagi.

“Feni langsung keluar kelas begitu menaruh tasnya dikursi. Katanya sih mau ke kamar mandi. Lagian mukanya pucet banget tuh anak terus sambil garuk garuk tangannya gitu,” terang Uzan yang duduk di bangku seberang.

Belum juga  selesai dugaanku. Hito, Deden, dan Rida masuk kedalam kelas dengan terburu buru. Mereka langsung menghampiriku. “Cit, sekarang kamu harus ikut kami deh. Cepetan,” paksa Rida  gugup.

“Ada apa? Kenapa kalian gugup kayak gitu?” tanyaku bingung.

”Udah cepetan nanti aja  jelasinnya!“ Hito menarik tanganku. Mau tak mau aku pun mengikuti langkah mereka.

Rupanya mereka bertiga membawaku ke gedung belakang sekolah. Aneh tidak biasanya mereka seperti  ini. Semakin mendekati bangunan tersebut semakin jelas saja suara orang bercakap cakap. Sampai tiba tiba Deden menyuruh kami untuk berjalan sepelan mungkin. Kamipun berjalan mengandap-endap. Rida memberi aba-aba untuk menengok apa yang ada dibalik tembok tersebut. Dalam hitungan ke tiga kami mengintip secara bersamaan.

Alangkah terkejutnya aku saat kudapati  Feni tengah menyuntikkan sesuatu ke tangannya  entah apa itu. Aku yakin itu pasti sejenis obat obatan terlarang. Hito mencengkram tanganku kuat. Ia mencegahku untuk kesana. “Bahaya, Cit! Mereka udah pada sakaw.” Ia mengingatkan.

“Ini nggak bisa dibiarin, Hit. Feni ada disana! Aku nggak akan diem aja!”  kataku menahan tangis.

“Sekarang kamu tau kan siapa dia sebenernya? Dia itu pecandu. Itu yang mau aku kasih liat ke kamu,” ujar Rida. Aku keburu berjalan ke arah Feni dan teman temanya yang sudah kehilangan kesadarannya.

“PLAK !” Kutampar ia keras keras. Air mataku menetes perlahan. Nampaknya ia terkejut  menyadari kedatanganku yang tidak terduga. Tapi, hey tunggu! Ia justru tertawa terbahak bahak lalu menangis begitu saja. Ternyata Feni masih di bawah pengaruh obat tersebut. Tak pernah sekalipun kubayangkan bahwa Feni temanku yang sudah ku anggap saudaraku sendiri ternyata seorang pecandu narkoba. Barang yang amat kubenci dan jelas jelas dilarang oleh Negara dan agama kini rupanya menjadikan Feni korbannya.

Kuseret Feni menuju UKS. Biar  bagaimana pun ia masih belum sadar, jadi ku biarkan ia disana untuk sementara waktu. Kusuruh ketiga temanku tadi untuk melapor ke kepala sekolah. Sedangkan aku akan menghubungi bunda melalui telfon  yang ku pinjam dari Deden. Karena bundaku memang bekerja di bidang yang menangani masalah tersebut.

Sebenarnya aku bisa saja bungkam atas masalah ini, apalagi sampai melapor ke pihak sekolah. Tapi maaf! Aku bukanlah seorang pengecut yang diam  hanya karena  Feni  adalah teman dekatku. Cukuplah  teman-temanku saja yang menjadi korban narkoba  termasuk Feni. Jangan sampai orang lain juga ikut terseret  barang haram  tersebut. Kuceritakan semuanya ke bunda. Aku juga memintanya  untuk menangani soal hal ini. Bunda tidak keberetan. Ia setuju.

Aku berjalan kembali  ke UKS. Berniat melihat keadaan Feni. Syukurlah ia sudah tertidur pulas.  Maafkan aku, Feni! Dalam beberapa bulan ke depan kau mungkin akan berada  dipanti rehabilitasi. Maafkan aku, Feni! Karena sudah mencampuri urusanmu, tapi aku yakin kau pasti punya alasan tertentu hingga pada akhirnya kau mau  meyentuh barang haram  itu. Tapi biarkan aku menjalankan tugasku serta peranku sebagai seorang pelajar untuk menjaga bangsaku dari hal hal yang dapat merusaknya Feni, termasuk narkobamu. Dan biarkanlah aku menjalankan peranku sebagai seorang santri untuk menegakkan kebeneran pada siapapun itu, termasuk kau Feni!

Biarlah nanti kau anggap aku apa. Entah masih kau anggap teman ataukah tidak. Tapi satu hal yang pasti! Tidak ada satu hal pun yang dapat menghalangi ku dalam menjaga negaraku. Indonesiaku. Agamaku. Ku harap kau mau mengerti Feni.

Oleh : FADELI FATIYANTI Kelas 9C